Hari semakin sempit, matahari semakin panas. Aku tahu akhirnya akan seperti ini. Tersenyum dalam tangisan hati menanti kepergianmu. Perpisahan yang tak mungkin dielakkan menjadi suatu hal yang melelahkan air mata. Indahnya dirimu, cahaya matamu, senyum manismu adalah file berharga yang akan ku hide di hatiku. Aku tau rasanya sangat sulit. Tapi, kau memang bukan milikku. Kau cintaku tapi bukan untukku. Kau orang yang mengajarkanku tertawa dalam tangisan, dan tersenyum dalam kesedihan. Tak rela sudah pasti. Pengharapan juga pasti selalu ada. Tawa canda yang dulu ada pasti akan sirna seiring kepergianmu. Bulan telah datang,  gelap sungguh gelap hingga bayangan tak terlihat lagi. Hanya lampu-lampu kecil yang bisa menerangi hatiku dan memperlihatkan sedikit bayangan kenangan dirimu.
Kurang dari empat bulan lagi ku masih bisa melihat senyuman itu, canda tawa itu, dan tatapan itu. Bicara soal tatapan, sinarnya selalu menghujani api di dadaku. Membekukan emosi meski apinya sangat besar. Tak ada sinar lain yang bisa membuatku begitu. Meski pilihan kebahagiaan lebih besar peluang daripada menunggumu. Tapi kebahagiaan itu selalu kutolak hanya untuk bahagia bersamamu. Tapi kini doaku selalu meminta agar matahari bisa kulihat lagi seperti dulu. Ku tahu bukan sekarang, tapi ku harap masa yang akan datang. Ku akan selalu menanti dengan canda tawa wajah dan tangisan hati. Mungkin ada kalanya orang melihatku bahagia dengan orang lain. Tapi kau akan selalu terpenjara di hatiku, meski hanya bayangan tanpa nyatamu. Ku akan selalu menunggumu disini, duduk manis menanti saat kembalimu. Menanti senyumanmu lagi, menanti tawa candamu. Aku rela sungguh rela menahan semua kesakitan itu. Semua itu karena hatiku berkata aku benar-benar mencintaimu.

Leave a Reply